Lewat televisi atau internet, publik dijejali oleh gaya politisi dalam merespon berbagai persoalan, terutama menyangkut politik dan hukum. Satu indikasi paling penting adalah mereka begitu sangar menyerang lawan, dan dahsyat membela kepentingan partai sendiri.
Saat ada persoalan di tubuh lawan politik, berbagai argumentasi dibangun
sebagai misil. Tak persoalan apakah argumentasi itu irasional dan hantam kromo. Yang penting hajar, tak peduli asal jeplak. Begitu juga ketika diserang lawan, buru-buru refresif dengan barikade peluru kendali. Sekali lagi, yang penting lawan!Kepentingan, proyek-proyek, dan hal-hal lain menyangkut partai mesti dibela habis-habisan. Biarpun kawan separtai sudah telak-telak korupsi, ya wajib dilindungi. Apalagi bila korupsi itu sebagian dananya untuk menggerakkan mesin partai, maka advokasinya kudu lebih kencang lagi.
Bahasa yang digunakan tentu tak sekadar menerabas etika dan kaidah tata bahasa, tetapi juga menggunakan jargon, frase atau ungkapan-ungkapan yang jauh dari kecerdasan logika, intelektual, sosial dan spiritual. Konten dan bahasa tubuh dipilih sehebat mungkin versi kepentingan partai. Opsi terhadap baik atau buruk, benar atau salah, tak masuk dalam horison ini. Beda-beda tipis sama tokoh di film Drunken Master yang menggunakan jurus Dewa Mabok.
Komunikasi politik seperti itu terus dipelihara. Sulit untuk menafsirkan bahwa itu menjadi bagian dari strategi dan policy partai. Sama susahnya untuk menghindar dari godaan untuk menyimpulkan bahwa fenomena itu merupakan model baku di partai politik tertentu. Soalnya, elit yang menjadi pemilik 'saham' mayoritas di partai tak terdengar menegur kadernya yang berprilaku seperti itu.
PROSES MENCONTOH
PROSES MENCONTOH
Aksi pembiaran dalam komunikasi politik seperti itu sungguh memilukan. Selain memperlihatkan betapa politikus (Ketua Komisi Hukum Nasional, Profesor Dr. JE Sahetapy, SH, MH, lebih suka menggunakan istilah 'politikus' ketimbang 'politisi'. Alasannya, ada kata 'tikus' yang lebih tepat dialamatkan kepada orang yang terjun di dunia politik) kita terlihat banyak yang terkesan tak waras, juga komunikasi politik ini berpotensi menjadi budaya politik kita
Bila menggunakan teori sosiologi, praktik ini terbuka menjadi bagian dari proses imitasi (contoh-mencontoh, tiru-meniru, ikut-mengikuti). Politisi lainnya atau rakyat terdidik untuk berbuat yang sama dalam berpolitik, bahkan dalam pola sikap dan prilaku sehari-hari. Egoisme menempati posisi puncak.
Ketika rakyat lebih menyukai konflik, dan main hakim sendiri, kadang-kadang menjarah juga ditempuh, jangan anggap itu sepenuhnya kesalahan mereka. Karena, mereka bagian dari pendidikan politik yang terus diedukasi oleh politikus yang poli-tikus.
Pulogadung, 15 Februari 2012
Pulogadung, 15 Februari 2012

Tidak ada komentar:
Posting Komentar