Beda Jerman, beda Indonesia. Di Jerman, Presiden Christian Wulff buru-buru lengser keprabon alias lempar handuk alias mundur dari jabatan cuma gara-gara dituding korupsi dan terima uang dari pengusaha.
Wulff mementingkan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Dia menegaskan Jerman membutuhkan presiden yang tidak hanya memiliki kepercayaan dari mayoritas kalangan politik, namun juga kepercayaan dari mayoritas rakyat Jerman. "Atas alasan itulah saya merasa tidak pantas lagi menjabat sebagai Presiden," ujar Wulff seperti dikutip Global Post Jumat, (17/2/2012).
Pengunduran diri itu setelah jaksa meminta Parlemen Jerman mencabut impunitas (kekebalan hukum) dari Wulff. Pria diduga melakukan tindakan korupsi dan mendapatkan pinjaman dana dari rekannya sebesar 500 ribu atau sekitar Rp5 miliar, dana itu digunakan untuk membeli rumah. Padahal, bantuan itu jauh sebelum dirinya menjabat sebagai Presiden Jerman.
Kalau Wulff hidup di Indonesia, pasti nggak seperti itu. Dia akan tetap merasa tenteram sentosa, petantang-petenteng plus cuek bebek. Jutaan dalil dibungkus dan disajikan untuk membenarkan sikap untuk tetap menjabat dan haram untuk meninggalkannya. Apalagi jabatan itu amanah plus nikmat, saudara-saudara.
Untuk memperkuat pertahanannya dari serangan opini publik, dia mengerahkan kawan-kawan untuk menjadi ksatria pembela. Dia gelontorkan uang gede-gedean agar konco-konconya itu ngecap kesana-kemari.
Rasa malu? Dia bilang: "Ahay...itu perbuatan orang-orang goblok."
Moralitas dan akhlaq? Buru-buru menjawab: "Beuhhh...itu cuma ada di kitab suci atau di penataran, seminar dan simposium."
Dosa? Lagi-lagi dia ngeles sambil nyerocos: "Itu singkatan bejendol nggak berasa. Entar kalo udah nggak menjabat, baru tobat!"
Ancaman dihukum? "Walaaahhh...sogok aja jaksa, polisi, hakim, juga petugas penjara."
Edannya negeri ini!
(Artikel ini dimuat di Harian Terbit, Senin, 20 Februari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar