Setiap ada kecelakaan lalu lintas di jalan raya, terutama menyangkut angkutan umum, banyak instansi cenderung buru-buru membela diri. Tak cukup cuma defensif, biar lebih safe, juga nyerang pihak lain sebagai pihak yang paling bersalah. Sikap seperti itu memang sangat tidak elok. Lebih baik instansi terkait diskusi bersama untuk evaluasi dan menentukan solusi terbaik agar kecelakaan angkutan umum bisa ditekan seminimal mungkin.
Saya memahami setiap kecelakaan tidak pernah berdiri tunggal. Dalam konteks itu, saya memahami bahwa ada unsur manusia berperan besar. Data memperlihatkan sekitar 80 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan faktor human error.
Begitu juga terhadap kecelakaan bus Karunia Bhakti Z 1795 DA jurusan Garut-Jakarta, yang kecelakaan di Cisarua, Bogor, Jumat sore, 10 Februari 2012. Sebanyak 14 orang meregang nyawa dan puluhan lainnya luka-luka dalam kecelakaan tabrakan beruntun, yang untuk sementara pihak kepolisian menyimpulkan musibah itu akibat rem blong.
Mari kita sependapat dulu soal rem blong sebagai penyebab. Rem blong ini bisa akibat kanvas atau master rem tak bisa berfungsi, atau minyak rem habis. Gejalanya pasti sudah dirasakan sebelumnya. Tidak mungkin rem blong secara tiba-tiba.
Artinya, sopir sudah tahu sejak awal bahwa ada persoalan dengan rem bus. Lalu kenapa pula sopir masih berani saja mengoperasikan bus kalau sudah merasa rem tidak bisa bekerja optimal. Ketika dia mengurus SIM di kantor kepolisian, sepatutnya persoalan ini termasuk yang dites.
Selanjutnya, sopir seharusnya segera memberitahu pihak perusahaan, paling minimal bagian teknik, untuk segera memperbaiki. Pada sisi perusahaan, semestinya gejala seperti itu segera diketahui bila kelaikan armada diperiksa day by day.
Begitu juga, kita tahu bahwa setiap enam bulan sekali angkutan umum wajib diperiksa kelaikannya di Pengujian Kendaraan Bermotor(PKB) dimana domisili armada itu terdaftar. Dengan peralatan canggih di PKB, petugas kir pasti mengetahui dan tak akan memberikan kelulusan kir.
Saat di terminal, bus sepatutnya juga diperiksa oleh petugas terminal soal kelaikan armada dan sopirnya. Fungsi terminal adalah simpul transportasi. Dari fungsi itu maka petugas bukan sekedar menarik retribusi dan pungli, tetapi juga berkewajiban secara kedinasan untuk memeriksa kelaikan.
OTORITAS
Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UULLAJ) memberikan kepada kepolisian otoritas untuk menerbitkan atau mencabut SIM. Kepada dinas perhubungan, hingga level tingkat II, diberi kewenangan untuk mengelola terminal dan PKB, juga jembatan timbang. Sedangkan kementerian perhubungan, dalam hal ini ditjen perhubungan darat, dikasih otoritas sebagai pembina.
Kalau instansi-instansi birokrasi itu mau duduk bersama untuk menganalisas dan mengevaluasi berbagai persoalan dengan dimensi regulasi dan fakta di lapangan, lalu mencari solusi bersama yang efektif dan efisien, insya Allah persoalan-persoalan lalu lintas dan angkutan jalan menjadi lebih baik. Tentu perspektifnya mesti kepentingan kebangsaan, bukan egoisme institusi atau personal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar