Kamis, 09 Februari 2012

Politisi, How Low Can You Go?

     Adalah Ludacris, nama panggung dari Christopher Brian Bridges, yang bergoyang rap sekaligus melantunkan lagu 'How Low Can You Go'. Lagu rapper AS itu kemudian menjadi judul program acara televisi, RTE.
          Tim kreatif salah satu rokok Indonesia juga memasang tagline 'How Low Can You Go' di setiap iklannya. Tagline ini semacam tantangan buat produsen rokok pesaing untuk berkompetisi sampai seberapa jauh mampu menurunkan kadar nikotin atau tar di setiap rokok.
         Dalam konteks perpolitikan dan birokrasi Indonesia, lagu sekaligus tagline ini menjadi tepat dipasang di dalam setiap dada warganegara yang akan dan sedang berkarir di ranah publik. Seberapa syahwat menyikat uang negara yang bisa kita tekan? Seberapa nafsu menyalahgunakan kekuasan bisa kita bungkam?
         Saya lebih berani menawarkan perkataan 'seberapa rendah' karena nafsu dan syahwat merupakan persoalan yang sangat manusiawi. Sama seperti halnya moralitas, yang tidak sekadar merupakan code of conduct seseorang dalam posisinya sebagai warganegara, tetapi sejatinya merupakan anugerah dari Sang Khaliq.
          Ini masalah mengelola syahwat dan nafsu. Ketika implementasinya hanya seputar kebutuhan individual dan tidak bergesekkan dengan kepentingan individu lain, maka sah-sah saja. Tetapi bila memasuki ruang publik maka ada begitu banyak perangkat moralitas bersama, etika, dan hukum yang semestinya ditaati.
        Karena itu, unsur aksi mengendalikan (control) syahwat dan nafsu individual menjadi teramat penting ketika kita mengerjakan sesuatu apapun yang menyangkut need dan interest publik, termasuk di dalamnya mendapatkan pelayanan cepat, murah, mudah, efektif dan efisien.
        Ketika uncontrolable, maka pelayanan terhadap pemenuhan need dan interest publik menjadi cacat, bahkan ringsek. Kita bahkan bisa menjadi pemangsa terhadap hak-hak publik.
Karena itu, how low can you go?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar