Rabu, 04 April 2012

Helooow…Petugas PSC Bandara! (Langka Senyum & Terima Kasih)

PEKAN lalu saya terbang dari Bandara Soekarno – Hatta ke Bandara Ngurah Rai. Hanya sehari di Pulau Bali, balik lagi ke Jakarta. Pulang-balik pakai pesawat Lion Air. Saya tetap bersabar walau di kedua penerbangan  tersebut harus menghadapi kenyataan keberangkatan mesti tertunda.
Kesabaran itu antara lain karena menyadari saya hidup di Indonesia, yang memang keterlambatan sudah terlanjur dianggap wajar. Justru aneh kalau tak terlambat. Kalau soal alasan terlambat, bisa saja dibangun   dengan berjuta-juta argumentasi. Bisa lalu lintas di perjalanan terjebak macet, buang-buang air (mungkin maksudnya buang air dari kran), tetangga sakit atau paling konyol menyalahkan Tuhan berkaitan dengan cuaca buruk.

Di luar urusan itu, saya tergelitik ketika berada di terminal penumpang, baik di Bandara Soekarno – Hatta maupun di Bandara Ngurah Rai. Saat di Bandara Soekarno – Hatta, saya lewat Terminal I A. Usai cek in, saya mesti bayar Passanger Service Charge (PSC) Rp40.000.  Sedangkan di Bandara Ngurah Rai, ketika hendak kembali ke Jakarta, juga membayar Rp40.000.
Penumpang pesawat memang wajib bayar PSC yang merupakan pungutan berkaitan pelayanan yang diberikan pengelola bandara. Mungkin pungutan itu karena di antaranya penumpang menikmati penggunaan ruang berpendingin udara, juga memakai toilet.
Jadi sebelum masuk ke ruang tunggu, sudah ada barikade konter petugas pemungut PSC. Saya tertarik mengamati petugas berpakaian seragam biru itu. Mereka begitu cekatan menerima uang atau memberikan uang kembalian. Cepat juga untuk menyerahkan kembali tiket yang sudah ditempeli stiker PSC.
Sayangnya, tak satupun petugas tersebut tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada penumpang. Padahal antara lain dari uang penumpang itu pengelola bandara,  PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II, bisa menggaji pegawai, termasuk petugas PSC. Rasanya pantas dan manusiawi banget kalau pegawai pengelola bandara berterima kasih sambil tersenyum kepada konsumen, termasuk penumpang pesawat.
Apalagi, berterima kasih dan tersenyum itu tidak perlu membeli, tidak perlu menghutang, juga tidak perlu meminjam. Cuma kemauan baik, kesadaran, dan keihklasan saja yang mendorong kita untuk berterimakasih sekaligus tersenyum atas jasa orang atau pihak lain. Mungkin orang atau pihak lain itu tidak membutuhkan terima kasih dan senyum kita. Tetapi justru kita yang membutuhkannya, yakni butuh untuk menyadari wajib berterimakasih dan tersenyum.
Kita butuh kesadaran untuk berterimakasih dan tersenyum karena itu bagian dari upaya diri untuk menjaga kesehatan jiwa dan raga. Bukankah kecerdasan untuk mengucapkan atau bersikap berterimakasih menjadi cermin betapa kita memang  pandai bersyukur. Hanya jiwa-jiwa yang hebat saja yang mampu melakukannya.
Kalau berterimakasih merupakan bagian dari bersyukur, seperti janji Allah SWT, maka akan dilipatgandakan nikmatnya. Kalau kita tak pandai bersyukur maka tinggal tunggu azab saja. Jadi tinggal pilih bersyukur atau tidak.
Begitu juga dengan tersenyum, kita sudah banyak tahu manfaatnya secara fisik akan bikin wajah lebih segar. Dalam perspektif agama, senyum itu ibadah. Tentu ada kalkulasi pahala atau kebajikan yang bakal didapat kalau dikaitkan dengan ibadah.
Kesimpulan yang bisa dibangun adalah kalau pegawai satu korporasi cerdas untuk berterimakasih dan tersenyum maka selain jiwa dan raganya lebih sehat plus dapat pahala, juga bermanfaat besar untuk performansi perusahaan. Konsumen puas, pelanggan baru berdatangan.
                                                             (agus wahyudin, yang senyumnya manis dan ikhlas)

4 komentar:

  1. Muadah2an tak sekedar wacana soalnya bali itu kan jendela dunia

    BalasHapus
  2. Seringkali hal terkait ramah tamah diremehtemehkan,kita sering lupa kalau kita bangsa yang ramah tamah

    BalasHapus
  3. Yah disitulah kelemahan kita,ditugasi memberi pelayanan malah pasang tampang seram,padahal kita sudah bayar pajak buat gaji mereka

    BalasHapus