PEKAN lalu saya terbang dari Bandara
Soekarno – Hatta ke Bandara Ngurah Rai. Hanya sehari di Pulau Bali, balik lagi
ke Jakarta. Pulang-balik pakai pesawat Lion Air. Saya tetap bersabar walau di kedua
penerbangan tersebut harus menghadapi
kenyataan keberangkatan mesti tertunda.
Kesabaran itu antara lain karena
menyadari saya hidup di Indonesia, yang memang keterlambatan sudah terlanjur
dianggap wajar. Justru aneh kalau tak terlambat. Kalau soal alasan terlambat, bisa
saja dibangun dengan berjuta-juta argumentasi. Bisa lalu
lintas di perjalanan terjebak macet, buang-buang air (mungkin maksudnya buang
air dari kran), tetangga sakit atau paling konyol menyalahkan Tuhan berkaitan
dengan cuaca buruk.
Di luar urusan itu, saya
tergelitik ketika berada di terminal penumpang, baik di Bandara Soekarno –
Hatta maupun di Bandara Ngurah Rai. Saat di Bandara Soekarno – Hatta, saya
lewat Terminal I A. Usai cek in, saya mesti bayar Passanger Service Charge
(PSC) Rp40.000. Sedangkan di Bandara
Ngurah Rai, ketika hendak kembali ke Jakarta, juga membayar Rp40.000.
Penumpang pesawat memang wajib
bayar PSC yang merupakan pungutan berkaitan pelayanan yang diberikan pengelola
bandara. Mungkin pungutan itu karena di antaranya penumpang menikmati
penggunaan ruang berpendingin udara, juga memakai toilet.
Jadi sebelum masuk ke ruang
tunggu, sudah ada barikade konter petugas pemungut PSC. Saya tertarik mengamati
petugas berpakaian seragam biru itu. Mereka begitu cekatan menerima uang atau
memberikan uang kembalian. Cepat juga untuk menyerahkan kembali tiket yang
sudah ditempeli stiker PSC.
Sayangnya, tak satupun petugas tersebut
tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada penumpang. Padahal antara lain
dari uang penumpang itu pengelola bandara, PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II, bisa
menggaji pegawai, termasuk petugas PSC. Rasanya pantas dan manusiawi banget
kalau pegawai pengelola bandara berterima kasih sambil tersenyum kepada
konsumen, termasuk penumpang pesawat.
Apalagi, berterima kasih dan
tersenyum itu tidak perlu membeli, tidak perlu menghutang, juga tidak perlu
meminjam. Cuma kemauan baik, kesadaran, dan keihklasan saja yang mendorong kita
untuk berterimakasih sekaligus tersenyum atas jasa orang atau pihak lain.
Mungkin orang atau pihak lain itu tidak membutuhkan terima kasih dan senyum
kita. Tetapi justru kita yang membutuhkannya, yakni butuh untuk menyadari wajib
berterimakasih dan tersenyum.
Kita butuh kesadaran untuk
berterimakasih dan tersenyum karena itu bagian dari upaya diri untuk menjaga kesehatan
jiwa dan raga. Bukankah kecerdasan untuk mengucapkan atau bersikap
berterimakasih menjadi cermin betapa kita memang pandai bersyukur. Hanya
jiwa-jiwa yang hebat saja yang mampu melakukannya.
Kalau berterimakasih merupakan bagian
dari bersyukur, seperti janji Allah SWT, maka akan dilipatgandakan
nikmatnya. Kalau kita tak pandai bersyukur maka tinggal tunggu azab saja. Jadi tinggal
pilih bersyukur atau tidak.
Begitu juga dengan tersenyum, kita
sudah banyak tahu manfaatnya secara fisik akan bikin wajah lebih segar. Dalam
perspektif agama, senyum itu ibadah. Tentu ada kalkulasi pahala atau kebajikan
yang bakal didapat kalau dikaitkan dengan ibadah.
Kesimpulan yang bisa dibangun
adalah kalau pegawai satu korporasi cerdas untuk berterimakasih dan tersenyum
maka selain jiwa dan raganya lebih sehat plus dapat pahala, juga bermanfaat
besar untuk performansi perusahaan. Konsumen puas, pelanggan baru berdatangan.
(agus wahyudin, yang senyumnya manis dan ikhlas)
keren euy
BalasHapusMuadah2an tak sekedar wacana soalnya bali itu kan jendela dunia
BalasHapusSeringkali hal terkait ramah tamah diremehtemehkan,kita sering lupa kalau kita bangsa yang ramah tamah
BalasHapusYah disitulah kelemahan kita,ditugasi memberi pelayanan malah pasang tampang seram,padahal kita sudah bayar pajak buat gaji mereka
BalasHapus