Minggu, 18 Maret 2012

Jalur KA Pasoso ke Pelabuhan Tanjung Priok Terancam Molor Lagi


PEMBANGUNAN infrastruktur jalur kereta api (KA) dari Pasoso ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, terus digenjot pemerintah. Berbagai kendala eksternal, seperti pembebasan lahan, nyaris 100% dituntaskan.  Sayangnya, kendala internal justru muncul. Walhasil, program itu terancam molor berkepanjangan.
Pembangunan infrastruktur yang hanya berjarak 3 kilometer itu mesti melewati waktu lama.  Bertahun-tahun. Persoalan pembebasan lahan menjadi faktor utama berlarut-larutnya pembangunan. Salah satunya, adalah kontroversi diwarnai konflik berdarah di sekitar kompleks makam Mbah Priok.
Setelah pendekatan kultural dan sosiologis digerakkan oleh pemerintah dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, maka persoalan lahan kompleks makam itu sudah mendekati finalisasi. Ahli waris akan menerima ganti rugi.
Saat senyum mulai mengembang dan ketika harapan tinggal menunggu waktu saja menjadi nyata, persoalan baru justru muncul dari ‘dalam.’ Tuntutan disuarakan dari instansi pemerintah sendiri. Tuntutan yang diduga berlatarbelakang keuntungan bisnis bikin rencana pembangunan menjadi ruwet lagi di tataran realisasi.
Masalah baru itu dimunculkan oleh direksi PT Kereta Api Indonesia (KA). Melalui surat bernomor KL.401/1/4/KA-2012 tertanggal 31 Januari 2012, Direktur Utama PT KA Ignasius Jonan mengajukan empat syarat untuk mendanai pembebasan lahan di Lorong 21, 22 dan 23. Surat tersebut ditujukan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan & Pengendalian Pembangunan UK4, PT Pelindo II dan PT Jakarta International Container TerminaL (JICT).
Pihak PT KA menyatakan bersedia mendanai pembebasan lahan tersebut dengan syarat: Pertama, lahan tersebut menjadi milik PT KAI dan dijalankan sesuai aturan yang berlaku. Kedua, pembebasan lahan dilakukan oleh Satker (Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan). Ketiga, dilakukan appraisal terhadap nilai ganti rugi tanah oleh 2 konsultan independen, bisa yang sudah dimiliki Satker atau ditunjuk sendiri oleh PT KAI.
Keempat, sebelum dilakukan pembebasan tanah, PT JICT terlebih dahulu harus menyetujui bahwa pengelola loading/unloading, trucking dan lain-lain ditunjuk oleh PT KAI sebagai intermoda di dalam terminal milik PT JICT dan Koja.
TAK LOGIS
Dua dari empat syarat yang diajukan oleh PT KAI itu, berpotensi menjadi gempa yang berakibat sistemik dalam rencana pembangunan jalur KA tersebut. Apalagi, selain bertabrakan dengan Undang-Undang Perkeretaapian, syarat itu tidak logis dalam kalkulasi bisnis.
Dalam UU Perkeretaapian ditegaskan bahwa infrastruktur perkeretaapian, terutama rel, merupakan kewajiban pemerintah untuk membangun, mengelola dan memeliharanya.
Jadi UU mana yang menjadi dasar bagi PT KAI untuk mengelola infrastruktur, termasuk lahan di Lorong 21, 22 dan 23?  Lagian dalam rapat UKP4 dipimpin Wapres Boediono sudah ditegaskan bahwa karena tak dialokasikan di APBN tahun 2012, dana pembebasan ditanggung dulu oleh PT KAI, lalu nanti secara bertahap diganti oleh pemerintah menggunakan dana APBN berikutnya atau melalui APBN-Perubahan.
Lagipula, kalau permintaan PT KAI itu disetujui maka muncul keanehan dalam pengelolaan jalur KA. Menjadi parsial alias terpotong-potong. Sebagian lahan dikelola pemerintah, dalam hal ini Ditjen Perkeretaapian karena merupakan amanat UU. Sebagian lahan lagi dikelola PT KAI.
Kemudian soal keharusan ditunjuk sebagai pengelola loading/unloading, trucking dan lain-lain di dalam terminal milik PT JICT dan Koja, teramat sulit untuk memahami pola pikir dan logika bisnis yang dipakai manajemen PT KAI.
Korporasi mana, apalagi PT JICT yang merupakan swasta murni yang investornya dari Hongkong, mau menyerahkan kepada pihak lain untuk mengelola sebagian bisnisnya? Sampai langit ambruk juga kagak ada yang mau. Pemerintah juga nggak bakalan sableng menuruti kemauan PT KAI.
Karena syarat yang diajukan PT KAI tersebut berpotensi menjadi masalah besar pembangunan jalur KA maka sebaiknya Menteri BUMN Dahlan Iskan harus bertindak tegas. Panggil direksi PT KAI. Kasih instruksi yang tegas. Kalau nggak mau mencabut syarat itu, ya pecat saja direksi PT KAI. Masih banyak kok yang lebih mampu dan lebih kuat jiwa kerakyatan serta nasionalismenya.
Perihal kerakyatan dan nasionalisme patut disinggung, karena memang proyek pembangunan jalur KA Pasoso-Lini I Pelabuhan Tanjung Priok merupakan proyek nasional, yang berdimensi besar dalam hal benefit buat negara dan rakyat.
17 LANGKAH
Patut diingat bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari 17 langkah aksi mengatasi kemacetan di Jabodetabek yang programnya diketuai Wapres Boediono. Seperti ditegaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, bahwa percepatan pembangunan jalur kereta api yang langsung menuju Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga KA tidak perlu berhenti lagi di terminal kontainer di Stasiun Pasoso.
Menko Perekenomian bilang, jika kereta api hanya sampai Pasoso, pemilik barang masih melakukan penanganan ganda, karena kontainer perlu diangkut truk dari Pasoso menuju pelabuhan.
Karenanya, dengan trek langsung ke pelabuhan maka pengusaha akan lebih bergairah lagi menggunakan kereta api dari sentra industri. Makanya di Jababeka, Cikarang, dibangun dryport yang dihubungkan dengan jalur KA, biar petikemas nggak lagi pakai truk untuk ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Tetapi kalau kereta cuma sampai Pasoso, ada tambahan waktu dan biaya pengangkutan lagi yang harus dikeluarkan pengusaha. Makanya lebih baik sekalian saja pakai truk dari sentra industri ke pelabuhan.
KONTEKS MP3EI
Dalam konteks dari  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), direncakan dan diakselerasi pembangunan jalur ganda KA di koridor Jakarta – Surabaya, terutama sejak dari Cirebon. Juga masih diprosesnya pembangunan jalur double double track Mangarai – Cikarang.
Pembangunan ini dimaksudkan antara lain merangsang migrasi angkutan barang dari penggunaan moda transportasi jalan raya ke kereta api. Dengan migrasi itu maka terjadi efisiensi perekonomian secara nasional.
Biaya perawatan dan perbaikan jalur pantai utara (Pantura) Jawa dapat ditekan karena sedikitnya truk pengangkut barang umum dan petikemas yang melintas. Dengan merosotnya jumlah truk berat melintasi jalan raya maka kemacetan, kecelakaan, penggunaan BBM, serta polusi udara dan suara juga dapat ditekan. Sehingga, tercipta kenyamanan bagi pengguna jalan raya lainnya.
Produsen,  investor, importir dan eksportir juga lebih bergairah lagi karena menurunnya biaya transportasi produk. Soalnya, pemakaian KA sebanding dengan 100 truk. Biaya menjadi lebih efisien, termasuk BBM dan asuransi.
Dalam domain kepentingan bisnis PT KAI, maka migrasi itu  semakin melajukan performansi pelayanan logistik. Melonjaknya perfomansi maka otomatis membengkakkan kantong perusahaan dari uang jasa pengangkutan.
Demikian halnya dengan pemerintah daerah (pemda), dapat meraup pendapatan lain dari bisnis dryport dan terminal petikemas di sekitar stasiun KA. Pada dimensi lain, pemda juga dapat menekan APBD dalam hal anggaran perbaikan dan perawatan jalan.
Karenanya, dapat disimpulkan bahwa proyek tadi akan memberikan benefit kepada semua pihak. Semua serba untung. Syaratnya, lepas egoisme korporasi dan sektoral. Semuanya berpikir dan bekerja dengan perspektif ke depan dan untuk kemaslahatan bersama. Begitu juga rakyat wajib berpikiran dengan paradigma yang sama.
                                                               (agus wahyudin)

2 komentar: