Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, tidak bersedia menanggapi laporan
dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta yang
disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan dugaan korupsi itu disampaikan Solidaritas Anti Korupsi dan
Anti Makelar Kasus (Snak Markus) dan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta,
Prijanto, kepada Ketua KPK, Abraham Samad, Jumat, 24 Februari 2012. "Silakan tanyakan kepada yang melapor," ujar Fauzi Bowo, Jumat (24/2/2012).
Sebelumnya, Prijanto melaporkan dugaan korupsi 10
proyek yang ditangani Pemprov DKI Jakarta. Saat melapor, dia didampingi
Anggota DPD RI AM Fatwa dan Yurisman
Munstar, aktivis Snak
Markus. "Saya menulis buku alasan mundur, ada 10 rangkaian
peristiwa, salah satunya adalah dugaan korupsi," cetus Prijanto, Jumat (24/2/2012).
Adalah hak seorang warganegara, termasuk Prijanto, untuk mengundurkan diri dari jabatan. Adalah haknya juga membuat buku yang antara lain membuka persoalan-persoalan mendasar di tubuh institusi yang pernah dipimpinnya walau hanya sekadar menjadi wakil gubernur. Prijanto berhak pula untuk melaporkan borok berupa dugaan korupsi itu ke KPK.
Publik menunggu respon KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi tersebut. Lalu juga patut diselidiki kemungkinan keterlibatan Fauzi Bowo. Bila ini terjadi maka kali pertama dalam sejarah Gubernur DKI Jakarta diperiksa karena sangkaan korupsi oleh institusi hukum, terutama KPK.
Dalam konteks melaporkan kasus korupsi ke lembaga penegak hukum, publik pasti memberikan apresiasi sebesar-besarnya. Prijanto berhak dan patut mendapat apresiasi ini. Harapannya tentu semakin banyak pejabat atau mantan pejabat publik mau membuka kebobrokan di lembaga negara yang bekerja menggunakan uang rakyat.
Namun pada dimensi lain, publik berhak untuk mempertanyakan motif murni langkah Prijanto melaporkan kasus di Pemprov DKI Jakarta yang bakal menyodok koleganya sendiri. Ketika menjabat sebagai wakil gubernur, bukankah Prijanto memiliki otoritas untuk mendorong Inspektorat Provinsi (Itprov) DKI Jakarta meneleiti dan menelusuri bila ada penyimpangan - penyimpangan baik secara administratif maupun hukum.
Sedangkan dalam perspektif kolega, bagaimanapun Prijanto bersama Fauzi Bowo pernah berjuang bersama dalam pemilukada sehingga menjadi pemenang. Begitu juga selama beberapa tahun, mereka menikmati posisi sebagai kepala daerah di Ibukota negara. Tentu ada ikatan kuat secara psikologis dan kelembagaan yang terbangun sekian lama.
Publik sempat tercengang ketika mengetahui Prijanto mengundurkan diri sebagai wakil gubernur. Dia dipertanyakan perihal pertanggungjawaban kepada rakyat yang pernah memilihnya. Karena itu, aksi mengundurkan diri justru akan menjegal langkahnya bertarung di pemilukada untuk memperebutkan jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Belum habis kaget akibat pengunduran diri itu, publik kembali dibikin heboh ketika Prijanto merilis buku yang di dalamnya terdapat risalah permasalahan berat di tubuh Pemprov DKI. Paling anyar, Prijanto menggelar aksi melaporkan kasus korupsi di Pemprov DKI ke KPK. Bisa ditebak, sasaran tembaknya adalah Fauzi Bowo.Padahal berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Wakil Kepala Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal
pengawasan terhadap kinerja pemerintah sampai ke dinas-dinas yang berada
di bawahnya.
Mungkin terlalu berlebihan bila kita memahami bahwa secara psikologis dan sosiologis, perkawanan mesti dijaga. Ada etika sekaligus moralitas yang mengawal. Bahkan di kalangan masyarakat ada semacam fatsun bahwa ada dua prinsip berkawan. Prinsip pertama, kawan selalu benar. Prinsip kedua, bila kawan bersalah maka lihat prinsip pertama. Tentu prinsip tidak menafikan untuk selalu mengingatkan kawan ketika salah.
Dalam militer, perkawanan ini lebih kental lagi. Menjunjung tinggi korps seperti harga mati. Korps harus tetap dijaga walau status sebagai tentara sudah ditanggalkan. Apakah prinsip dalam masyarakat dan militer itu menjadi bagian dari jiwa Prijanto atau malah tak berlaku, hanya Prijanto dan Tuhan Yang Maha Esa yang tahu.
Prinsip perkawanan antara Fauzi Bowo dengan Prijanto sedang diuji. Sementara ini, publik baru menangkap kesan bahwa di antara keduanya terdapat realitas sebagai penguatan bukti dalam fatsun politik bahwa tidak ada kawan atau musuh yang abadi. Yang abadi hanya kepentingan yang berubah-ubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar