SELASA
pagi, tepat Pk. 00:00, pendaftaran calon Gubernur (cagub) dan Wakil Gubernur
(cawagub) DKI Jakarta ditutup. Pasangan
Hidayat Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, yang diusung Parai Keadilan
sejahtera (PKS), menjadi pasangan yang mendaftar di menit-menit terakhir.
Sebelumnya
sudah mendaftar, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramili yang diusung Partai Demokrat,
Partai Damai Sejahtera (PDS), Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Selain
itu, Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dari PDIP dan Gerindra.
Kemudian ada pula Alex Noerdin dan Nono Sampono dari Golkar, PPP, dan PDS.
Dua pasangan dari jalur independen yang
lebih dulu mendaftar adalah pasangan Faisal Basri dan Biem Benyamin, yang
menjadi pendaftar pertama. Kemudian pasangan Hendardji Supandji dan Ahmad Riza
Patria.
Partai-partai
kelas gajah dengan kekuatan duit gede akan bersaing. Tentunya akan menyebabkan
serunya kompetisi karena bakal bertebarannya uang kepada warga Jakarta. Walau
money politic tergolong haram, tetapi sungguh sangat susah untuk dihindari.
Apalagi, warga amat senang menerimanya.
Tukang
kaos dan tukang bikin spanduk siap-siap panen rezeki dari order pembuatan
berbagai atribut kampanye. Sedangkan pemilik angkutan umum kebagian rezeki
pengangkutan segala peralatan dan peserta kampanye. Tentu media massa, terutama
televisi, juga akan kebanjiran iklan, yang nilainya gede-gedean.
MAIN
SAMBAR
Di
luar urusan prediksi bakal banyak pihak bakal membengkak kantong dan rekening
banknya dari rezeki halal dari bisnis berkaitan dengan kampanye, proses
rekrutmen calon cagub dan cawagub juga patut dicermati. Ada semacam konflik
yang muncul.
Contohnya,
PDS, yang semula mendukung pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono, tiba-tiba
beralih ke pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi. Bila Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) DKI menyatakan peralihan dukungan PDS itu sah maka Alez-Nono terancam
didiskualifikasi karena tak cukup persyaratan bagi pasangan yang diusung Partai
Golkar tersebut.
Begitu
juga aksi PDIP dan Gerindra untuk menggaet Basuki Tjahaja Purnama, yang
merupakan politisi Partai Golkar. Tentu saja elit Golkar kebakaran jenggot.
Karenanya, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sampai mengultimatum memecat
mantan Bupati Bangka Belitung tersebut.
Paling
anyar bibit konflik muncul dengan aksi PKS yang menyambar politisi PAN, Didik J
Rachbini. Padahal secara resmi PAN memberikan dukungan kepada Fauzi Bowo -
Nachrowi Ramli.
BEREBUT ETNIS
Perebutan
itu bukan tanpa kalkulasi politik. Tentu ada motif dan strategi politik untuk
menjadi pemenang dalam pemilukada. Ada dugaan perebutan suara etnis tertentu.
Dalam konteks itu terjadi pertarungan politik etnis.
Fauzi
yang merupakan calon incumbent merupakan sosok asli Jakarta. Apalagi Nachrowi
juga anak Jakarta. Suara etnis Betawi diharapkan menjadi captive market.
Sedangkan Alex Noerdin, yang masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan,
minimal akan kuat pemilihnya dari wong kito (keturunan Palembang).
Keputusan
PDIP dan Gerindra memilih Jokowi tentu selain kekuatan politik kerakyatan
Walikota SOlo itu, juga berharap dukungan dari etnis Jawa. Sedangkan menggaet
Basuki Tjahaja karena berharap akan menggaet etnis Tionghoa. Putra pertama dari
Alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) dan Buniarti Ningsing (Bun Nen Caw)
itu memilik nama Tionghoa, Hong Wan Xie.
Pilihan
kepada Hidayat Nurwahid bukan sekadar kemampuan Hidayat menjadikan PKS pemenang
sebagai pemenang Pemilu lalu di Jakarta, tetapi karena latarbelakang Jawa yang
dimilikinya. Ditambah dengan menggaet putra asal 'Pulau Garam" Didik J
Rachbini, tentu ada harapan etnis Madura akan menjatuhkan pilihan kepada
pasangan itu.
Warga
Jakarta, juga rakyat Indonesia, berharap perebutan konstituen berbasis etnis
itu tidak melahirkan konflik horisontal di Ibukota, yang memang berpenduduk
heterogen. Nanti setelah kelar pemilukada dan dipastikan siapa pemenangnya,
maka warga Jakarta harus kembali rukun membangun Jakarta.(agus wahyudin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar