Kamis, 01 Maret 2012

Lalu Lintas Kendaraan di Jabodetabek Terancam Berhenti Total


JAKARTA tidak bisa sendirian menyelesaikan persoalan transportasinya. Mesti ada dukungan dan solusi bersama dari delapan daerah penyangga yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. “Solusinya harus integratif Jabodetabek. Bila tidak maka arus lalu lintas di Jabodetabek bisa berhenti total,” tegas Dirjen Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso .
    Solusi integratif itu dibutuhkan, dirjen mengingatkan karena pola perjalanan dan wajah transportasi di Jakarta amat dipengaruhi oleh warga Kabupaten dan Kota Bogor,  Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kota Tangerang Selatan.
    Sebagian warga di daerah penyangga itu bekerja atau mencari nafkah di Jakarta. Mereka menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum dan kereta api. Dalam konteks penggunaan jalan raya, terjadi kemacetan arus lalu lintas tak hanya saat jam-jam sibuk (peak hours) tetapi juga jam-jam kerja (off peaks).
    Begitu juga penggunaan jasa kereta api, Suroyo mengemukakan terjadi kepadatan penumpang saat jam sibuk. “Ini memperlihatkan betapa jalan raya dan kereta api menanggung beban berat karena pertumbuhannya amat lambat dan ketinggalan jauh dengan pertumbuhan kendaraan dan permintaan,” tuturnya.
    SERBUAN KENDARAAN
    Serbuan sebagian warga Bodetabek mencari nafkah di Jakarta menimbulkan kemacetan arus lalu lintas dari perbatasan dengan dearah lain hingga ke tengah kota Jakarta.  Data memperlihatkan volume kendaraan dari wilayah penyangga Jakarta mencapai 700 ribu kendaraan per hari.
Kendaraan dari kawasan Depok mencapai 10 ribu lebih per hari. Sementara dari Tangerang mencapai 20 ribu lebih. Sisanya dari kawasan Bekasi, Bogor dan Banten. Gelombang masuk kendaraan dari luar Jakarta ini kebanyakan masuk lewat tol.
Selain mobil, penyumbang kemacetan terbesar yakni motor dengan jumlahnya yang mencapai 8 juta unit hingga 2011. Angka ini diprediksi bertambah, dengan adanya penambahan motor tiap hari.
Setiap harinya, sepeda motor yang beredar di jalan raya di Jakarta bertambah 890 unit. Sedang jumlah mobil bertambah 240 unit.
Jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta, termasuk dari Bodetabek,  mencapai 11.362.396 unit. Dari angka tersebut, roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit.
Dari jumlah ini, 98% adalah kendaraan pribadi sisanya sebanyak 859.692 unit atau 2% nya angkutan umum.
Padahal panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun. Angka perjalanan di Jakarta mencapai 20 juta per hari.  Kecepatan rata-rata lalu lintas di Jakarta akan turun 3,6% per tahun. Sedangkan dari segi biaya, di Jakarta rata-rata 30% dari pendapatan warga dihabiskan untuk penggunaan transportasi kota
Buruknya sektor transportasi di wilayah Jabodetabek menimbulkan kerugian sangat besar. Potensi kerugian berupa kecelakaan, polusi udara, konsumsi bahan bakar dan kerusakan jalan,  itu diperkirakan mencapai Rp 65 triliun di tahun 2020 nanti. 
MASTER PLAN
Karena itu, pemerintah daerah (pemda) di Bodetabek tidak bisa berpangku tangan terhadap persoalan yang mendera Jakarta, khususnya kemacetan arus lalu lintas. Warga Bodetabek itu ikut menjadi faktor pencetus sekaligus faktor penderita dari kemacetan tersebut.
    Persoalannya adalah partisipasi dan peran serta seperti apa yang diharapkan bisa diberikan pemda Bodetabek dalam solusi integratif memecahkan persoalan kemacetan arus lalu lintas tersebut. “Karena itu, dibutuhkan master plan atau rencana induk transportasi Jabodetabek. Pemerintah pusat bersama daerah sudah membahas bersama. Insya Allah, akan terbit Peraturan Presiden (Perpres) tentang rencana induk itu,” ungkapnya.
    Master plan tersebut berfungsi menjadi pedoman bagi menteri, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Pemerintah Kabupaten Bogor, Kota Bogor,  Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, dan Kota Bekasi, dalam merencanakan dan melaksanakan sistem transportasi dan yang terkait dengan transportasi Jabodetabek.
    Rencana induk itu, Dirjen Suroyo mengungkapkan merupakan rencana pengembangan sistem transportasi terpadu untuk periode 20 tahun terhitung sejak tahun 2011 hingga tahun 2030. Ada delapan bagian dalam master plan tersebut.
    “Yakni evaluasi kemajuan perkembangan rencana induk terintegrasi (Sitramp) tahun 2004, perubahan kondisi sosio-ekonomi masyarakat tahun 2002 dan 2010, perspektif dan kebutuhan perjalanan di masa depan,” jelasnya.
    Selain itu, dasar dari rencana induk transportasi Jabodetabek, kebijakan dan strategi transportasi perkotaan, tinjauan rencana eksisting pengembangan sistem transportasi dan proyek yang sedang berjalan, skenario pengembangan transportasi perkotaan, serta revisi Sitramp tahun 2004.
    Isi sederhana dari master plan tersebut, dirjen menjelaskan membangun database soal permukiman penduduk Bodetabek serta pola transportasinya. Lalu ditentukan solusi terintegratif mengenai transportasi apakah yang dibutuhkan dan mampu memenuhi kebutuhan tersebut hingga 20 tahun ke depan. “Transportasi berbasis jalan raya dan kereta api itu tentu saja mesti aman, nyaman dan lancar,” ujarnya.
    Pemerintah derah di Bodetabek tinggal menyesuaikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing dengan rencana induk transportasi Jabodetabek. “Misalnya perlu didesain mengenai park and ride yakni lokasi parkir memadai untuk kendaraan di kawasan yang menyediakan angkutan umum,” tutur Suroyo.
    Dalam konteks itu, dirjen mengingatkan tidak boleh ada lagi ego kewilayahan. “Selain karena transportasi tidak mengenal batas wilayah, penyesuaian terhadap rencana induk transportasi Jabodetabek ini juga dimasudkan untuk memberikan pelayanan yang nyaman, aman dan lancar bagi warga Jabodetabek,” tegasnya.
                       (agus wahyudin/email: h.aguswahyudin@gmail.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar