PEMBANGUNAN infrastruktur
jalur kereta api (KA) dari Pasoso ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara,
terus digenjot pemerintah. Berbagai kendala eksternal, seperti pembebasan
lahan, nyaris 100% dituntaskan.
Sayangnya, kendala internal justru muncul. Walhasil, program itu
terancam molor berkepanjangan.
Pembangunan
infrastruktur yang hanya berjarak 3 kilometer itu mesti melewati waktu
lama. Bertahun-tahun. Persoalan
pembebasan lahan menjadi faktor utama berlarut-larutnya pembangunan. Salah
satunya, adalah kontroversi diwarnai konflik berdarah di sekitar kompleks makam
Mbah Priok.
Setelah
pendekatan kultural dan sosiologis digerakkan oleh pemerintah dan PT Pelabuhan
Indonesia (Pelindo) II, maka persoalan lahan kompleks makam itu sudah mendekati
finalisasi. Ahli waris akan menerima ganti rugi.
Saat senyum
mulai mengembang dan ketika harapan tinggal menunggu waktu saja menjadi nyata,
persoalan baru justru muncul dari ‘dalam.’ Tuntutan disuarakan dari instansi
pemerintah sendiri. Tuntutan yang diduga berlatarbelakang keuntungan bisnis
bikin rencana pembangunan menjadi ruwet lagi di tataran realisasi.
Masalah baru
itu dimunculkan oleh direksi PT Kereta Api Indonesia (KA). Melalui surat
bernomor KL.401/1/4/KA-2012 tertanggal 31 Januari 2012, Direktur Utama PT KA
Ignasius Jonan mengajukan empat syarat untuk mendanai pembebasan lahan di Lorong
21, 22 dan 23. Surat tersebut ditujukan kepada Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan & Pengendalian Pembangunan UK4, PT Pelindo II dan PT Jakarta
International Container TerminaL (JICT).
Pihak PT KA
menyatakan bersedia mendanai pembebasan lahan tersebut dengan syarat: Pertama,
lahan tersebut menjadi milik PT KAI dan dijalankan sesuai aturan yang berlaku.
Kedua, pembebasan lahan dilakukan oleh Satker (Ditjen Perkeretaapian
Kementerian Perhubungan). Ketiga, dilakukan appraisal terhadap nilai ganti rugi
tanah oleh 2 konsultan independen, bisa yang sudah dimiliki Satker atau
ditunjuk sendiri oleh PT KAI.
Keempat,
sebelum dilakukan pembebasan tanah, PT JICT terlebih dahulu harus menyetujui
bahwa pengelola loading/unloading, trucking dan lain-lain ditunjuk oleh PT KAI
sebagai intermoda di dalam terminal milik PT JICT dan Koja.
TAK LOGIS
Dua dari
empat syarat yang diajukan oleh PT KAI itu, berpotensi menjadi gempa yang
berakibat sistemik dalam rencana pembangunan jalur KA tersebut. Apalagi, selain
bertabrakan dengan Undang-Undang Perkeretaapian, syarat itu tidak logis dalam
kalkulasi bisnis.
Dalam UU
Perkeretaapian ditegaskan bahwa infrastruktur perkeretaapian, terutama rel,
merupakan kewajiban pemerintah untuk membangun, mengelola dan memeliharanya.
Jadi UU mana
yang menjadi dasar bagi PT KAI untuk mengelola infrastruktur, termasuk lahan di
Lorong 21, 22 dan 23? Lagian dalam rapat
UKP4 dipimpin Wapres Boediono sudah ditegaskan bahwa karena tak dialokasikan di
APBN tahun 2012, dana pembebasan ditanggung dulu oleh PT KAI, lalu nanti secara
bertahap diganti oleh pemerintah menggunakan dana APBN berikutnya atau melalui
APBN-Perubahan.
Lagipula, kalau
permintaan PT KAI itu disetujui maka muncul keanehan dalam pengelolaan jalur
KA. Menjadi parsial alias terpotong-potong. Sebagian lahan dikelola pemerintah,
dalam hal ini Ditjen Perkeretaapian karena merupakan amanat UU. Sebagian lahan
lagi dikelola PT KAI.
Kemudian
soal keharusan ditunjuk sebagai pengelola loading/unloading, trucking dan
lain-lain di dalam terminal milik PT JICT dan Koja, teramat sulit untuk
memahami pola pikir dan logika bisnis yang dipakai manajemen PT KAI.
Korporasi
mana, apalagi PT JICT yang merupakan swasta murni yang investornya dari
Hongkong, mau menyerahkan kepada pihak lain untuk mengelola sebagian bisnisnya?
Sampai langit ambruk juga kagak ada yang mau. Pemerintah juga nggak bakalan
sableng menuruti kemauan PT KAI.
Karena
syarat yang diajukan PT KAI tersebut berpotensi menjadi masalah besar
pembangunan jalur KA maka sebaiknya Menteri BUMN Dahlan Iskan harus bertindak
tegas. Panggil direksi PT KAI. Kasih instruksi yang tegas. Kalau nggak mau
mencabut syarat itu, ya pecat saja direksi PT KAI. Masih banyak kok yang lebih
mampu dan lebih kuat jiwa kerakyatan serta nasionalismenya.
Perihal
kerakyatan dan nasionalisme patut disinggung, karena memang proyek pembangunan
jalur KA Pasoso-Lini I Pelabuhan Tanjung Priok merupakan proyek nasional, yang
berdimensi besar dalam hal benefit buat negara dan rakyat.
17 LANGKAH
Patut
diingat bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari 17 langkah aksi mengatasi
kemacetan di Jabodetabek yang programnya diketuai Wapres Boediono. Seperti
ditegaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, bahwa percepatan pembangunan jalur
kereta api yang langsung menuju Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga KA tidak
perlu berhenti lagi di terminal kontainer di Stasiun Pasoso.
Menko
Perekenomian bilang, jika kereta api hanya sampai Pasoso, pemilik barang masih
melakukan penanganan ganda, karena kontainer perlu diangkut truk dari Pasoso
menuju pelabuhan.
Karenanya,
dengan trek langsung ke pelabuhan maka pengusaha akan lebih bergairah lagi
menggunakan kereta api dari sentra industri. Makanya di Jababeka, Cikarang,
dibangun dryport yang dihubungkan dengan jalur KA, biar petikemas nggak lagi
pakai truk untuk ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Tetapi kalau
kereta cuma sampai Pasoso, ada tambahan waktu dan biaya pengangkutan lagi yang
harus dikeluarkan pengusaha. Makanya lebih baik sekalian saja pakai truk dari
sentra industri ke pelabuhan.
KONTEKS
MP3EI
Dalam
konteks dari Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), direncakan dan diakselerasi
pembangunan jalur ganda KA di koridor Jakarta – Surabaya, terutama sejak dari
Cirebon. Juga masih diprosesnya pembangunan jalur double double track Mangarai
– Cikarang.
Pembangunan
ini dimaksudkan antara lain merangsang migrasi angkutan barang dari penggunaan
moda transportasi jalan raya ke kereta api. Dengan migrasi itu maka terjadi
efisiensi perekonomian secara nasional.
Biaya
perawatan dan perbaikan jalur pantai utara (Pantura) Jawa dapat ditekan karena
sedikitnya truk pengangkut barang umum dan petikemas yang melintas. Dengan
merosotnya jumlah truk berat melintasi jalan raya maka kemacetan, kecelakaan,
penggunaan BBM, serta polusi udara dan suara juga dapat ditekan. Sehingga,
tercipta kenyamanan bagi pengguna jalan raya lainnya.
Produsen, investor, importir dan eksportir juga lebih
bergairah lagi karena menurunnya biaya transportasi produk. Soalnya, pemakaian
KA sebanding dengan 100 truk. Biaya menjadi lebih efisien, termasuk BBM dan
asuransi.
Dalam domain
kepentingan bisnis PT KAI, maka migrasi itu
semakin melajukan performansi pelayanan logistik. Melonjaknya perfomansi
maka otomatis membengkakkan kantong perusahaan dari uang jasa pengangkutan.
Demikian
halnya dengan pemerintah daerah (pemda), dapat meraup pendapatan lain dari
bisnis dryport dan terminal petikemas di sekitar stasiun KA. Pada dimensi lain,
pemda juga dapat menekan APBD dalam hal anggaran perbaikan dan perawatan jalan.
Karenanya, dapat
disimpulkan bahwa proyek tadi akan memberikan benefit kepada semua pihak. Semua
serba untung. Syaratnya, lepas egoisme korporasi dan sektoral. Semuanya
berpikir dan bekerja dengan perspektif ke depan dan untuk kemaslahatan bersama.
Begitu juga rakyat wajib berpikiran dengan paradigma yang sama.
(agus wahyudin)
Wew. Ada foto hasil karya jepretan saya ...
BalasHapusWah terima kasih atas koreksinya
BalasHapus