Selasa, 20 Maret 2012

Pemilukada Jakarta Bertabur Uang & Politik Etnis


         SELASA pagi, tepat Pk. 00:00, pendaftaran calon Gubernur (cagub) dan Wakil Gubernur (cawagub)  DKI Jakarta ditutup. Pasangan Hidayat Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, yang diusung Parai Keadilan sejahtera (PKS), menjadi pasangan yang mendaftar di menit-menit terakhir.  

                Sebelumnya sudah mendaftar, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramili yang diusung Partai Demokrat, Partai Damai Sejahtera (PDS), Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
                Selain itu, Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dari PDIP dan Gerindra. Kemudian ada pula Alex Noerdin dan Nono Sampono dari Golkar, PPP, dan PDS. Dua  pasangan dari jalur independen yang lebih dulu mendaftar adalah pasangan Faisal Basri dan Biem Benyamin, yang menjadi pendaftar pertama. Kemudian pasangan Hendardji Supandji dan Ahmad Riza Patria.
                Partai-partai kelas gajah dengan kekuatan duit gede akan bersaing. Tentunya akan menyebabkan serunya kompetisi karena bakal bertebarannya uang kepada warga Jakarta. Walau money politic tergolong haram, tetapi sungguh sangat susah untuk dihindari. Apalagi, warga amat senang menerimanya.
                Tukang kaos dan tukang bikin spanduk siap-siap panen rezeki dari order pembuatan berbagai atribut kampanye. Sedangkan pemilik angkutan umum kebagian rezeki pengangkutan segala peralatan dan peserta kampanye. Tentu media massa, terutama televisi, juga akan kebanjiran iklan, yang nilainya gede-gedean.
                                MAIN SAMBAR
                Di luar urusan prediksi bakal banyak pihak bakal membengkak kantong dan rekening banknya dari rezeki halal dari bisnis berkaitan dengan kampanye, proses rekrutmen calon cagub dan cawagub juga patut dicermati. Ada semacam konflik yang muncul.
                Contohnya, PDS, yang semula mendukung pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono, tiba-tiba beralih ke pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi. Bila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI menyatakan peralihan dukungan PDS itu sah maka Alez-Nono terancam didiskualifikasi karena tak cukup persyaratan bagi pasangan yang diusung Partai Golkar tersebut.
                Begitu juga aksi PDIP dan Gerindra untuk menggaet Basuki Tjahaja Purnama, yang merupakan politisi Partai Golkar. Tentu saja elit Golkar kebakaran jenggot. Karenanya, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie sampai mengultimatum memecat mantan Bupati Bangka Belitung tersebut.
                Paling anyar bibit konflik muncul dengan aksi PKS yang menyambar politisi PAN, Didik J Rachbini. Padahal secara resmi PAN memberikan dukungan kepada Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli.
BEREBUT ETNIS
                Perebutan itu bukan tanpa kalkulasi politik. Tentu ada motif dan strategi politik untuk menjadi pemenang dalam pemilukada. Ada dugaan perebutan suara etnis tertentu. Dalam konteks itu terjadi pertarungan politik etnis.
                Fauzi yang merupakan calon incumbent merupakan sosok asli Jakarta. Apalagi Nachrowi juga anak Jakarta. Suara etnis Betawi diharapkan menjadi captive market. Sedangkan Alex Noerdin, yang masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, minimal akan kuat pemilihnya dari wong kito (keturunan Palembang).
                Keputusan PDIP dan Gerindra memilih Jokowi tentu selain kekuatan politik kerakyatan Walikota SOlo itu, juga berharap dukungan dari etnis Jawa. Sedangkan menggaet Basuki Tjahaja karena berharap akan menggaet etnis Tionghoa. Putra pertama dari Alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) dan Buniarti Ningsing (Bun Nen Caw) itu memilik nama Tionghoa, Hong Wan Xie.
                Pilihan kepada Hidayat Nurwahid bukan sekadar kemampuan Hidayat menjadikan PKS pemenang sebagai pemenang Pemilu lalu di Jakarta, tetapi karena latarbelakang Jawa yang dimilikinya. Ditambah dengan menggaet putra asal 'Pulau Garam" Didik J Rachbini, tentu ada harapan etnis Madura akan menjatuhkan pilihan kepada pasangan itu.
                Warga Jakarta, juga rakyat Indonesia, berharap perebutan konstituen berbasis etnis itu tidak melahirkan konflik horisontal di Ibukota, yang memang berpenduduk heterogen. Nanti setelah kelar pemilukada dan dipastikan siapa pemenangnya, maka warga Jakarta harus kembali rukun membangun Jakarta.(agus wahyudin).
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar